Senin, 25 Juli 2011

Tepal

Jarak tempuh desa yang dikenal sebagai penghasil Kopi terbaik di Sumbawa itu tak lebih 40 atau 50 km dari ibu kota kabupaten Sumbawa. Tetapi untuk sampai ke Tepal dibutuhkan waktu 4 sampai 5 Jam menggunakan motor trail untuk jarak yang dalam ukuran normal bisa ditempuh hanya 1 jam dengan kendaraan bermotor itu. Medannya memang cukup sulit dan memacu adrenalin. Melewati lereng pegunungan Batu Lanteh yang dikelilingi hutan lebat dan jurang menganga. Dirimbun pepohonan, banyak ayam hutan dan burung-burung liar  dijumpai ketika menyusuri belantara itu. Beberapa gerombol babi hutan dan biawak berlarian mendengar raungan kendaraan yang lewat. Dibeberapa truk, para penumpangnya beberapa kali terpelanting karena kehilangan keseimbangan ketika menyusuri jalanan setapak berbatu dengan kemiringan hampir 70 derajat!
Bila kita lihat sendiri, tak bisa kita membayangkan bagaimana jalan seperti ini bisa dilalui kendaraan, terutama dimusim penghujan? Tetapi penduduk desa disana rupanya memang sudah terbiasa, meskipun ada juga satu dua yang patah kaki atau tangan. Satu-satunya angkutan umum yang bisa sampai ke Tepal hanyalah mobil hardtop milik beberapa “juragan” kopi yang di disain seperti mobil offroad. Bila di musim penghujan, penduduk yang ingin ke Kota Sumbawa Besar kadang bisa satu minggu perjalanan pulang pergi. Penyebabnya karena sering nya mobil yang mereka tumpangi, terkadang terperosok ke dalam lumpur sehingga penumpangnya pun ikut mendorong atau menyusun batu-batu untuk mengeluarkannya.
Yag begitulah kondisinya..

Secara umum, desa Tepal memang boleh dikatakan cukup makmur. Hasil alam, terutama kopi dan beras merah cukup melimpah. Dari penjualan hasil bumi itu, mereka bisa membeli kebutuhan pokok atau memasang panel listrik tenaga surya untuk kebutuhan energinya. Tetapi sudah setahun ini mereka sudah memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang digerakkan kincir.

Anak-anak muda Tepal juga banyak yang sudah menempuh pendidikan tinggi di Mataram atau di Jawa. 
Sementara itu soal kesehatan memang masih menjadi kendala. Meskipun ada polindes namun hanya sesekali dikunjungi bidan atau dokter desa. Karena itu mungkin masyarakat lebih memilih berobat ke Sandro (dukun) daripada harus ke kota yang jauh.
 
Dari sisi perkebunan, perkebunan kopi di Tepal cukup bagus. Produksinya bisa lebih dari seribu ton tapi penduduk setempat kesulitan untuk menjualnya. Mereka hanya berharap agar pemerintah daerah segera membangun jalan yang lebih baik, sehingga mereka bisa menjual hasil bumi mereka dan membeli kebutuhan di kota dengan harga yang lebih wajar.

Begitulah lika-liku jalan untuk sampai ke desa Tepal di kecamatan Batu Lanteh Kabupaten Sumbawa. Ada dua alasan yang membuat kita ingin mengunjungi desa ini. Pertama, sebagai para pecinta kopi, rasanya kurang manta jika belum mendatangi desa yang sangat terkenal dengan keharuman kopinya ini. Alasan kedua, konon didesa inilah lahir seorang ulama kenamaan yang pernah memimpin tarekat besar Qodiriah yakni Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi as-Sumbawi atau lebih dikenal sebagai Syeikh Zainudin Tepal, pengarang beberapa kitab kenamaan yang salah satunya, Sirajul Huda, sebuah kitab tentang tauhid dan aqidah ahlussunah yang menjadi bahan ajar tingkat lanjut dibeberapa pesantren (termasuk di beberapa pesantren Kaliwungu-Kendal).


Bagaimana mungkin dari sebuah desa terpencil ini bisa melahirkan seorang ulama besar seperti syeikh Zainudin Tepal pada awal abad ke 19M? bila kita fikir saat itu perlu waktu berminggu-minggu untuk sekedar turun ke Sumbawa, apalagi ke Makkah. Jika kita runut sejarahnya, Syeikh Muhammad Zainuddin Tepal adalah murid utama Syeikh Nawawi al-Bantani yang menjadi imam masjidil haram pada kisaran tahun1815 – 1860M. Itu berarti Syeikh Zainudin Tepal meninggalkan kampung halaman untuk belajar agama di Makkah ketika gunung Tambora sedang mengamuk dasyat. Sayangnya tidak banyak riwayat atau sejarah yang bisa dibaca tentang kehidupan Syeikh Zainudin Tepal ini, terutama yang bisa diketahui oleh warga Tepal atau Sumbawa pada umumnya. Bahkan tidak ada sedikitpun jejak yang bisa saya jumpai tentang kehidupan sang syeikh dimasa lalu ditempat kelahirannya.

Dari perbincangan saya dengan beberapa warga, mereka hanya tahu keberadaan sang syeikh justru dari orang lain. Mereka juga tak menyimpan kitab-kitab peninggalan sang syeikh yang makamnya berada di Makkah itu. Berita tentang meletusnya Gunung Tamborapun hanya sedikit ingatan yang mampu mereka kenali. Itupun dari Lawas yang biasa didendangkan dalam acara Sakeco oleh para tetua. Di situ disebutkan, ketika terjadi letusan gunung besar itu, seluruh mata air di Sumbawa berhenti mengalir. Hanya ada 2 mata air yang masih mengalir, dua-duanya berada di sekitar desa Tepal. Mungkin karena itu sempat terjadi eksodus besar-besaran. Beberapa warga dari daerah bawah naik ke atas gunung dan selamat dari amukan Tambora, terutama akibat wabah pasca meletusnya Gunung berapi terdasyat diera modern itu.


Secara geografis, desa Tepal yang berada di ketinggian 870-an Dpl memang berada di perbukitan yang dikelilingi pegunungan Batu Lanteh. Beberapa peneliti (terutama dari aspek kebahasaan) memang menyebutkan bahwa yang disebut penduduk asli Sumbawa adalah penduduk yang mendiami pegunungan Batu Lanteh, Lunyuk dan Ropang. Merekalah yang selamat dari amukan Tambora. Sementara penduduk dipesisir, umumnya mereka adalah para pendatang dari Bugis-Makassar, Mandar, Bajo, Melayu atau Jawa. Apakah memang benar demikian wallahhu a’lam bishowab dech…